sumber: mongabay.co.id |
Manusia di seluruh dunia menjadi semakin khawatir dengan krisis iklim. Kita bahkan memandangnya sebagai salah satu ancaman utama dalam kehidupan. Sebagian besar di antaranya akan langsung berpikir bahwa hal ini berhubungan erat dengan penggunaan energi. Dan solusi yang sering menjadi focus kita adalah terkait energi bersih.
Namun apakah kita sadar bahwa
ketika berdiam diri di rumah, menjalani rutinitas serba “from home” ternyata
juga berperan besar terhadap perubahan iklim ini?
Yap!
Hal ini terjadi karena kita selalu menyumbang emisi karbon melalui sampah makanan atau yang sekarang sering disebut sebagai “food waste”. Pada tahun 2020-2045, sampah makanan diperkirakan mencapai hingga 112 ton per tahunnya (Sumber: Bappenas). Sedangkan sampah makanan ini menambah emisi gas rumah kaca yang berpengaruh besar terhadap perubahan iklim.
Food and Agricultural Organization (FAO) menyatakan bahwa sekitar 33% hingga 50% makanan yang telah diproduksi, tidak dikonsumsi dengan semestinya. Setiap tahunnya, kita membuang 1/3 dari semua produksi pangan global, dengan sisa konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang terbesar dari total pemborosan pangan ini. Siapa kira makanan bertanggung jawab atas sekitar 26% emisi gas rumah kaca global. Sementara yang bukan makanan sebesar 74% dari 52.3 juta ton emisi global setara karbon dioksida, menurut penjabaran Hannah Richie, founder Our World in Data.
Penelitian terbaru yang dipublikasikan oleh Journal of Cleaner Production, mereka menyusun peringkat makanan berdasarkan tingkat gas rumah kaca yang dihasilkan sejak pertanian sampai dengan ke piring saji setiap orang. Sebuah artikel yang diterbitkan oleh World Economic Forum telah menjelaskan bagaimana makanan yang ada dalam piring kita berkontribusi dalam pemanasan global. Artinya, setiap makanan yang kita konsumsi berasal dari rantai produksi yang mengeluarkan emisi karbon. Setiap bahan makanan memiliki kandungan karbon yang berbeda. Menurut FAO, komoditas yang menghasilkan emisi karbon tertinggi adalah serealia (lebih dari 30%) dan daging sapi (20%). Beras merupakan jenis serealia yang memiliki dampak lebih tinggi karena beras mengeluarkan gas metana (CH4). Proses dekomposisi komponen organik memiliki pengaruh signifikan.
Lantas, dimana kita dapat
berkontribusi?
Sebagai individu, banyak sekali hal
yang dapat kita lakukan untuk mencegah dan mengurangi food waste. Yakni dengan
cara mengatur isi piring dan mengatur pola makan kita, seperti:
1. Memilih bahan makanan
Kita bisa mulai
memilih imperfect food (yang tidak terlihat cantik namun masih dapat
dikonsumsi). Imperfect food ini memiliki potensi besar terbuang dan
menjadi food waste karena tidak ada yang mau membelinya.
2. Mengatur penyimpanan makanan
Seperti dengan
tidak mencampur buah dan sayuran, mengalasi kain untuk sayur-sayuran atau cabe
yang telah dicuci sebelumnya, menyimpan susu dan telur di laci bukan di pintu,
atau memilih
kulkas dengan fitur yang dapat membantu menyimpan makanan secara
lebih lama efisien.
3. Menentukan bahan makanan
sesuai kebutuhan, bukan keinginan
Dampak lingkungan
dapat terjadi karena proses produksi. Daging-dagingan menghasilkan CO2
paling tinggi sedangkan yang paling rendah itu kacang-kacangan dan
sayur-sayuran. Membuat cooking plan atau meal plan juga penting
untuk dilakukan sehingga tidak berlebihan saat berbelanja. Rencana memasak
mingguan sangat penting untuk dimiliki sebagai basis kita untuk berbelanja,
sehingga berbelanja akan menjadi cukup dan dihabiskan sesuai dengan rencana
yang telah dibuat.
4. Mengambil makanan di piring secukupnya dan menghabiskannya
Meskipun terkesan
sepele, namun masih banyak dari kita yang secara tidak sadar menyisakan dan
memilih-milih makanan. Kita bisa mulai dari mengambil makanan secukupnya dan
jika kita ada di tempat dimana kita tidak dapat mengambil sendiri, maka kita
selalu bisa request untuk menyedikitkan porsinya atau tidak menggunakan bahan
yang tidak kita suka.
5. Membeli makanan lokal atau
menanam bahan makanan sendiri
Membeli makanan dari petani lokal merupakan cara yang cukup efektif untuk mengurangi jejak karbon. Hal ini terjadi karena makanan lokal tidak membutuhkan proses transportasi proses pengolahan yang banyak. Begitu pula dengan bahan makanan yang kita tanam sendiri.
Sumber:
www.greeners.co
nationalgeographic.grid.id
tirto.id
zerowaste.id
indonesianchefassociation.com
(Tristiana Hidayatul Wahidah-Dipterocarpus 05)
Tidak ada komentar: